snow

Selasa, 26 Agustus 2014

Hilang, mati (Part 3)



Zahwa duduk sambil menyandarkan kepalanya ke kursi bambu yang ada di tepi pantai kala itu, matanya menatap jauh ke arah garis laut, ia masih tak habis pikir atas perlakuan Bara terhadapnya, ia hanya menitikkan air mata, tak peduli dengan temannya yang tengah berlarian di bibir pantai senja itu. Tujuan temannya mengajak ke pantai memang baik, ingin Zahwa bisa melupakan Bara, membuang semua kenangannya ke samudera yang luas. Masih banyak orang yang lebih baik dari Bara, terlalu sayang air matanya menetes sia-sia. Sejauh ini Bara tak pernah menyatakan cintanya pada Zahwa, begitu-begitu saja tak pernah jelas arahnya. Namun Zahwa terlalu dengan hati dengan Bara, entah apa yang pernah Bara katakan pada Zahwa hingga membuatnya percaya atas cintanya.
Kali ini bukan permasalahan soal Niko, di sisi lain Bara punya masa lalu dengan Yuri yang kali ini membuat Zahwa cenat-cenut dan mungkin hampir pingsan karenanya. Sehari sebelum Zahwa ke pantai bersama teman-temannya, ia mendengar kabar soal pertunangan Bara dengan Yuri. Walau bagaimana Yuri pernah ada di hati Bara, bisa dibilang Bara pernah cinta padanya, namun Yuri menghianati Bara. Sesakit apapun Bara mungkin bisa menerima Yuri kembali. Mungkin Yuri pergi karena sikap Bara yang tak pernah ada kepastian seperti halnya pada Zahwa. Kali ini Zahwa mencoba menerima kenyataan, mungkin Bara bisa bahagia dengan Yuri, cinta masa lalunya. Zahwa berpikir sosok wanita seperti apakah Yuri? Hingga Bara bisa menerimanya kembali walau telah sakit karenanya. Banyak tanda tanya dalam otak Zahwa yang tak bisa terjawabkan. Zahwa hanya bisa diam dan diam.
Sebulan sejak kabar pertunangan Bara, Zahwa tak pernah kontek lagi dengan Bara. Namun malam itu Bara mencoba menghubungi Zahwa kembali, 3 kali menelfon dan Zahwa tak menjawabnya. Zahwa mencoba membuka pesan singkatnya “Kenapa ga diangkat? Aku butuh kamu” begitu tulisan di HP Zahwa. Ia mencoba tegar dan membalasnya “Aku? Ga salah? Bukannya bentar lagi kamu mau nikah?”. Bara menelpon lagi dan setelah sekian kalinya Zahwa akhirnya mengangkatnya. “Aku belum siap untuk menikah, masih banyak hal yang belum aku raih” Bara mencoba menjelaskan pada Zahwa.
“Kalo ga kamu coba, gimana kamu siap?” timpal Zahwa.
“iya, aku belum siap untuk semuanya, memang ada yang ngajakin nikah, tapi aku belum sanggup untuk memimpin keluarga. Nikah memang selesai sehari, tapi setelah itu banyak yang harus dipikirkan.” Tambah Bara.
Kali ini Zahwa agak menaikkan nadanya “Semua orang pasti bakalan nikah, apa kamu mau kaya gitu terus? Kamu laki-laki harus bisa ambil sikap, jangan mempermainkan hati wanita. Yakinkan satu orang yang paling kamu yakini mampu menjaga hatimu dan kamu jaga pula hatinya”. Zahwa menekankan kalimatnya agar Bara sadar atas sikapnya kepada wanita selama ini. Ia tak berharap wanita itu adalah dirinya, tapi setidaknya tak akan ada lagi yang terluka oleh perlakuannya. Soal kabar pertunangan Bara benar atau tidak tak lagi ia pedulikan, Zahwa mencoba bersikap bijak.
Setelah membatalkan pertunangannya dengan Yuri, Bara mencoba menjalani hari-harinya kembali dengan Zahwa. Bara merasa nyaman dengan Zahwa, ia setia mendengar cerita-cerita hidup Bara, dan kadang memberi nasihat. Semakin lama Zahwa pun luluh kembali. Ia mencoba serius menjalani kedekatannya, bahkan Bara sering melontarkan kata-kata menikah dengan Zahwa kelak. Ia mulai yakin dengan Bara, ia tak menanggapi pria lain yang mencoba dekat dengannya, ia hanya mengharapkan Bara seorang. Zahwa semakin yakin ketika Bara telah merundingkan hubungannya dengan Zahwa ke keluarganya. Keluarga Bara pun tak ada penolakan dengan hal tersebut. Zahwa merasa bahagia, ia mampu melupakan segala yang membuatnya kecewa, mulai dari janji yang sering tak Bara tepati, hingga masa lalu Bara yang sangat membuat Zahwa sakit hati.

................to be continue..........